|



Hari Tani Indonesia : Aturan Menumpuk, Satu Pun Tak Berdampak Bagi Petani

Poto Ilustrasi Sudarno/Kapuasrayatoday.com
Yogyakarta,Kapuasrayatoday.com - Ekspansi sawit di Indonesia, berjalan beriringan dengan kolonialisme Belanda dan dibudidayakan secara komersil tahun 1911 yang dimulai dari Sumatra Barat. Saat ini, kelapa sawit telah berjejer seperti pulau dari Sabang hingga Merauke kata Darto disela- sela kegiatan SPKS di Yogyakarta kemarin.

Usia perkebunan sawit saat ini, sudah mencapai 108 tahun dengan total luas mencapai 14,3 juta ha. Namun nasib petani kelapa sawit masih sangat memprihatinkan. Tidak ada suksestori untuk membangun perkebunan Rakyat Indonesia yang kuat sehingga terus menerus tergerus oleh krisis harga sawit ditingkat petani.

Petani kelapa sawit mengelola perkebunan kelapa sawit seluas 5,7 juta ha dan 4,9 juta ha di antaranya adalah petani sawit Mandiri dan sisanya adalah petani plasma yang dibina melalui skema kemitraan dengan perusahaan sawit.

Kurang lebih 12 juta penduduk Indonesia, menggantungkan hidupnya dari kelapa sawit. 

Sawit Indonesia telah menjadi komoditas andalan devisa negara dengan penerimaan sebesar Rp. 239 Triliun dengan total Produksi Crude Palm Oil (CPO) nasional pada tahun 2018 sebesar 43 juta ton CPO dan petani berkontribusi sekitar 18 juta ton CPO dengan rata-rata produksi CPO di kebun petani sebesar 3 ton CPO/ha. Indonesia pun sebagai Raja Minyak sawit dunia di atas Malaysia kata Maunsetus Darto dalam siaran Pers yang diterima Kapuasrayatoday.com pada Rabu (24/9) 2019 malam.

Menurut Darto, semestinya, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memperhatikan nasib petani ujarnya.

Mansetus Darto selaku Sekretaris Jendral Serikat Petani Kelapa Sawit Indonesia,mengatakan bahwa secara keseluruhan, petani sawit mandiri belum diurus oleh pemerintah.

Aturan tentang Kelapa Sawit

Presiden Joko Widodo seringkali mengeluarkan kebijakan, tetapi sedikit pun tidak memberikan dampak positif bagi petani kelapa sawit Indonesia. Terdapat banyak sekali contoh peraturan yang tidak berdampak, misalnya inpres no 8 tahun 2018 tentang evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan. Dalam inpres ini, presiden meminta untuk melakukan evaluasi ijin-ijin sawit yang sudah dikeluarkan bagi koorporasi serta melakukan pemetaan perkebunan rakyat, Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), Revitalisasi Kelembagaan Tani dan alokasi 20% dari Kawasan hutan. Lagi-lagi, inpres ini, tidak berjalan sehingga petani tidak memperoleh manfaat sejak inpres ini dikeluarkan oleh Bapak Presiden, bahkan inpres no 8 ini makin lemah implementasinya karena diurus oleh kemenko perekonomian dengan jabatan direktur. Dampaknya, Petani sawit masih saja memperoleh produktivitas rendah akibat kesulitan mengakses pupuk, sarana prasarana yang buruk dan mayoritas petani masih menjual hasil produksinya ke tengkulak dengan harga yang sangat murah. Disamping itu, harga Tandan Buah Segar (TBS) milik petani masih ditentukan oleh hukum pasar dan belum adanya model perlindungan harga petani dari gejolak pasar sebagaimana diatur dalam UU No. 19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, tegas Darto. 

Tidak berhenti di situ, pada tahun 2018, Presiden juga mengeluarkan perpres No. 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Tetapi 4,9 juta ha kebun petani swadaya tidak memiliki sertifikat tanah dan masih banyak-nya kebijakan lain yang belum mendukung untuk penguatan Koperasi Rakyat di Perkebunan Sawit karena belum adanya peraturan yang tegas untuk membatasi koorporasi dan pembatasan jangka waktu HGU (Hak Guna Usaha) yang saat ini perusahaan bisa menguasai tanah hingga 90 tahun. 


Menurut Hildzil Alim,tercatat banyak sekali peraturan yang diterbitkan pemerintah. Akan tetapi, implementasi peraturan tersebut, sedikit sekali mengakomodasi petani. Misalnya, pada 2006, pemerintah menerbitkan Perpres No. 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Sebagai tindak lanjut Perpres tersebut, Menteri ESDM menandatangani Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Peraturan menteri tersebut mengalami tiga kali perubahan, terakhir dengan Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015. “Meski banyak peraturan diterbitkan, ternyata kehidupan petani sawit tidak banyak berubah”, ungkap Hifdzil Alim, Direktur HICON Law & Policy Strategies.
Pada 2015, pemerintah menerbitkan PP no 24 dan Perpres No. 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Tiga tahun setelahnya, Perpres 61 tersebut diubah dengan Perpres No. 66 Tahun 2018. Sebagai tindak lanjut, Menteri ESDM menandatangani Peraturan Menteri No. 41 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Rangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. “Walaupun demikian, tetap saja, implementasi peraturan-peraturan tersebut tidak mampu mengangkat kehidupan petani, khususnya kesejahteraan petani”, ucap Hifdzil.

Menurut data SPKS, dengan hadirnya perpres 66 tahun 2018 tersebut, Badan Pengelola dana Perkebunan Kelapa Sawit telah berhasil mengumpulkan dana sawit kurang lebih 35 triliun rupiah sejak 2015. Namun hanya 2% alokasinya bagi petani hingga saat ini dan sisanya lebih besar diperuntukkan bagi industry biodiesel.
Melalui kebijakan biodiesel tersebut, petani seperti dipaksa untuk meningkatkan kualitasnya. Tetapi fakta kebijakan pemerintah berkebalikan. Pemerintah tidak turut serta membantu petani meningkatkan kualitas pertaniannya. Petani mengalami beberapa persoalan—dan parahnya pemerintah tak mau turun tangan.

Contohnya, kualitas bibit yang buruk, kapasitas petani yang masih rendah, kelembagaan petani yang tidak kuat dan hanya memiliki jaringan yang terbatas, serta legalitas lahan yang masih menjadi beban petani.

Peraturan yang dikeluarkan pemerintah tidak berkontribusi apapun kepada petani.Menurut Direktur The Indonesian Power for Democracy (IPD) Gregorius Sahdan, pemerintahan Jokowi tidak memiliki komitmen yang kuat untuk memperbaiki nasib petani sawit imbuhnya.

Selama 108 tahun ekspansi sawit di Indonesia, posisi pemerintah tidak mengalami perubahan, tetap menjadi tangan kanan tengkulak dalam mengeksploitasi dan menyingkirkan petani sawit dalam kebijakan sawit dan biodiesel di Indonesia.

Sejatinya, tujuan awal masuknya sawit dan segala bentuk ekspansinya ke dalam kehidupan petani di pedesaan, baik di Sumatera, Riau, Kalimantan, Sulawesi maupun ke Papua didorong oleh motivasi untuk memperkuat ekonomi desa. Namun,sampai dengan saat ini, ekspansi sawit ke desa, tidak hanya menimbulkan distorsi ekonomi, tetapi juga menciptakan model baru dalam involusi pertanian.

Kesejahteraan semu.

Distorsi yang paling ganas menurut Sahdan, terjadi ketika ekspansi sawit hanya melahirkan ekonomi boomcrop yaitu sebuah model ekonomi dengan segala bentuk ilusinya kepada petani, terutama ilusi kesejahteraan yang tidak pernah tercapai.

Distorsi yang kedua terjadi ketika para petani menggeser pola konsumsi keluarga dari ekonomi subsisten ke ekonomi pasar yang menimbulkan ketergantungan berdaya ledak tinggi. Ketika para petani menjadi sangat tergantung pada sawit dan menjadikan sawit sebagai tumpuan harapan kehidupan rumah tangga, pada saat yang sama, pasar mempermainkan harga sawit, sehingga para petani berteriak histeris dan bahkan kehilangan penghasilan. Anehnya, pada saat yang sama, pemerintah justru mengambil posisi menjaga jarak dengan petani sawit dan bergandengan tangan dengan pengusaha sawit, membiarkan petani sawit terus berada pada posisi yang sangat lemah, baik oleh kebijakan pemerintah yang tidak jelas, maupun oleh kepentingan pengusaha sawit yang semata-mata berorientasi terhadap keuntungan. 

Dalam kaitanya dengan involusi pertanian, pertanian kita sampai dengan saat ini, gagal melahirkan kesejahteraan bagi petani. Di tengah kemacetan dan involusi produksi dan hasil pertanian, pemerintah malah mengelurkan berbagai kebijakan impor pangan, seperti gula dan beras. Selama periode 2017-2018, Indonesia sudah mengimpor gula sebanyak 4,45 juta ton (Kontan, 23 September 2019). Volume impor gula ini melebihi impor gula China sebesar 4,2 juta ton dan AS yang mencapai 3,11 juta ton. Kebijakan impor ini, disamping mematikan produksi dan hasil pertanian dalam negeri, juga sedikit menjawab pertanyaan mengapa para petani kita, tidak kunjung sejahtera.

Sahdan mengutarakan bahwa kebijakan pemerintah yang tidak memberikan perlindungan terhadap petani, justru mempercepat matinya produktivitas pertanian dan membuat hasil-hasil pertanian kurang membawa kesejahteraan petani.

Impor Pangan

Di sektor sawit, kebijakan impor pangan ikut melucuti kesejahteraan petani sawit, karena ketergantungan mereka terhadap ekonomi pasar (harga sawit yang terus menurun) dan terjadinya involusi hasil pertanian.
Karena itu, kami dari SPKS, IPD dan HICON Law & Policy Strategies, menekankan kepada pemerintahan untuk mengambil kebijakan yang jelas terkait dengan penguatan kesejahteraan petani sawit yang sampai dengan saat ini, terus menjadi korban kebijakan pemerintah yang salah sasaran dan berpihak kepada pengusaha sawit.

Presrilis.  Seknas SPKS Bogor
Editor.       Tim Redaksi
Bagikan:
Komentar Anda

Berita Terkini