-->
    |

Meliput Kudeta di Myanmar, Media Hadapi Pembatasan

Warga mengakses media sosial di sebuah warung teh di Yangon. (foto: VOA). Militer Myanmar melakukan pemblokiran akses internet dan media sosial pasca kudeta.

Kapuasrayatoday.com -
Sensor, ancaman, dan pemblokiran internet telah menciptakan iklim ketidakpastian di Myanmar sejak kudeta militer. Situasi itu bisa menyebabkan kebebasan pers di negara itu mundur 10 tahun, kata pengawas media, Reporters Without Borders (RSF).

Ketika militer mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari, militer memberlakukan keadaan darurat selama setahun, menahan tokoh-tokoh dan aktivis oposisi utama, memberlakukan penutupan internet, dan memperingatkan agar tidak menyebarkan rumor di media sosial.

Pengambilalihan itu terjadi di tengah ketegangan selama berbulan-bulan, setelah militer menuduh telah terjadi kecurangan dalam pelaksanaan pemilu November. Pemilu itu dimenangkan secara telak oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi.

Setidaknya satu wartawan telah ditahan, beberapa terluka ketika sedang meliput protes terhadap pengambilalihan militer itu, stasiun TV milik swasta dilarang untuk menyiarkan, akses internet diputus, dan beberapa wartawan menyampaikan pembatasan terhadap pemberitaan mereka guna menghindari risiko penangkapan atau pelecehan, kata organisasi hak asasi bagi media dan digital itu.

Kepada VOA, wartawan di Myanmar mengatakan, terlalu berisiko untuk berbicara dengan media asing atau kelompok HAM. Beberapa dari mereka menjelaskan menerima panggilan telepon dari pejabat yang bertanya untuk siapa mereka bekerja. Beberapa wartawan mengatakan mereka disarankan berhati-hati dalam menangani data sensitif ketika melaporkan kudeta dan protes agar jangan sampai catatan dan perangkat mereka digunakan sebagai bukti untuk melawan mereka.

Daniel Bastard, kepala RSF biro Asia-Pasifik dalam pernyataan menulis, “Militer perlu memahami bahwa rakyat Myanmar kini terbiasa dengan pers yang bebas. Tidak mungkin kembali ke masa lalu secara tiba-tiba."

Myanmar meraih kebebasan media dalam 10 tahun ini, setelah kekuasaan militer berakhir pada Februari 2011. Negara itu menempati peringkat 139 dari 180 negara, menurut indeks kebebasan pers RSF 2020. Dalam beberapa tahun ini, pelecehan hukum dan penangkapan tokoh-tokoh, yang melibatkan dua koresponden kantor berita Reuters, telah menyebabkan penurunan. (VOA)


Bagikan:
Komentar Anda

Berita Terkini