|



Kematian Mantan Diktator Militer Korsel Tinggalkan Trauma yang Dalam

Lee Soon-ja, istri mantan diktator Chun Doo-hwan, mengamati peti jenazah mendiang suaminya dalam prosesi pemakaman di Seoul (27/11).(Foto:VOA)

Kapuasrayatoday.com - Chun Doo-hwan, seorang jenderal angkatan darat Korea Selatan ketika itu, merebut kekuasaan pada 1979 melalui kudeta militer.

Meskipun Chun berhasil memimpin kemajuan ekonomi yang signifikan selama pemerintahannya, warisan itu dinodai catatan pelanggaran hak asasi manusia yang parah.

Chun dianggap bertanggung jawab atas salah satu pembantaian paling berdarah dalam sejarah modern Korea Selatan: pembantaian Gwangju.

Pada Mei 1980, lebih dari 15.000 mahasiswa turun ke jalan-jalan di kota Gwangju di wilayah barat daya Korea Selatan untuk menyerukan diakhirinya kediktatoran militer Chun.

Ketika pasukan Chun tiba di kota itu, data pemerintah setempat menunjukkan, tentara membunuh lebih dari 200 warga sipil, melukai ribuan orang, dan menangkap lebih dari 1.800 orang.Empat puluh satu tahun kemudian, mantan diktator militer itu meninggal dunia di rumahnya di Seoul, tanpa meninggalkan permintaan maaf.

Sekarang, keluarga para korban dan para penyintas pembantaian Gwangju bergumul dengan kematian mendadak Chun.

Lee Gi-bong, yang mengepalai kelompok sipil yang dibentuk oleh korban insiden Gwangju, mengatakan kematian Chun tidak menyelesaikan trauma yang mereka alami. “Para penjahat yang menggunakan kekerasan berumur panjang dan mati dalam kekayaan. Sementara itu, penderitaan warga Gwangju terus berlanjut,” ungkapnya.Meskipun kematian Chun telah meninggalkan luka menganga, banyak korban bertekad tidak akan membiarkan kematiannya mengubur kebenaran mengenai insiden Gwangju.

Lee Jae-eui berpartisipasi dalam aksi demonstrasi sebagai mahasiswa. “Sangat disesalkan bahwa Chun menyangkal pembantaian dan tanggung jawabnya sampai akhir hayatnya. Tapi sekarang, para penyintas harus melakukan tugas sejarah untuk menyelesaikan misi pencarian fakta demi penyelesaian masalah tanpa dia.Tindakan keras selama pemerintahan Chun itu hingga kini masih memicu ketegangan politik. Banyak pengikut Chun yang konservatif membela penggunaan kekerasan tersebut. Mereka menuduh bahwa protes di Gwangju diatur oleh penyusup dari Korea Utara. Warga Gwangju seringkali masih menghadapi tuduhan bahwa mereka adalah mata-mata komunis yang mengancam keamanan nasional.

Setelah kematian Chun, sekitar 70 korban pembantaian Gwangju mengajukan gugatan terhadap pemerintah. Mereka menuduh pemerintahan Chun telah mengakibatkan trauma psikologis.

Gugatan itu merupakan bukti lebih lanjut bahwa meskipun babak kelam sejarah Korea Selatan telah ditutup, banyak trauma yang masih belum terselesaikan.(VOA)








Bagikan:
Komentar Anda

Berita Terkini