|



Afrika Khawatirkan Sensor Pada Program Pendidikan Budaya Didanai China

Para pendidik khawatir 'sensor' dalam program Institut Konfusius yang didanai China. (Foto:VOA)

Kapuasrayatoday.com -  Selama tiga tahun Steve Wakoli telah berusaha menyempurnakan keterampilannya dalam kung fu, seni bela diri populer yang diajarkan di Institut Konfusius Universitas Kenyatta.

Ia juga seorang guru di institut tersebut, tempat ratusan siswa belajar tentang budaya dan bahasa China di fasilitas yang dinamai sesuai dengan nama filsuf China kuno yang ajarannya merupakan landasan kehidupan di Asia Timur.

Sekitar 525 Institut Konfusius didanai China di seluruh dunia, termasuk 54 lembaga di Afrika, menurut laporan Senat AS tahun 2019 pada Komite Keamanan Dalam Negeri dan Urusan Pemerintah.Jacob Ratemo adalah salah satu dari sekitar 500 siswa yang terdaftar. Ia mengungkapkan belajar bahasa dan budaya China membantunya menemukan pekerjaan yang lebih baik. Akan tetapi Jacob mengakui kelas-kelas tersebut menghindari isu-isu sensitif dari segi politik di China.

“Tetapi kelebihannya, apalagi kalau sudah di tingkat universitas, kita bisa mengakses hal-hal seperti itu. Saya bisa mengunjungi website VOA News secara teratur dan melihat apa yang terjadi di China. Saya bisa mendapatkan informasi itu melalui Google. Saya mengakui ada beberapa tantangan jika menanyakan pertanyaan seperti itu kepada orang China sendiri,” jelasnya.

Menurut laporan Senat, “dana Confucius Institute dilengkapi persyaratan yang dapat membahayakan kebebasan akademik.” Misalnya, para guru China menandatangani kontrak dengan Beijing yang berjanji untuk tidak merusak kepentingan nasional China.

Manajemen Confucius Institute menolak permintaan dari VOA untuk memberi komentar.

Guru Steve Wakoli mengatakan silabus institut itu tidak memberikan banyak waktu untuk debat topik-topik yang sensitif dari segi politik. Namun para analis mengatakan Institut Konfusius melarang diskusi tentang isu-isu seperti Taiwan dan Hong Kong untuk melindungi pendanaan dari pemerintah China. Martin Oloo adalah seorang analis politik di Kenya.

“Memang, ada masalah seputar apakah institut itu digunakan untuk memajukan apa yang akan dilihat sebagai hal-hal yang bersifat anti-demokrasi, anti-hak asasi manusia. Beberapa kekhawatiran itu berasal dari kebijakan resmi China atas Taiwan juga Hong Kong,” jelasnya.

China menganggap Taiwan sebagai provinsi yang membelot dan tidak mengenyampingkan opsi penggunaan kekuatan untuk menyatukannya kembali dengan wilayah daratan. Beijing memberlakukan undang-undang keamanan nasional terhadap Hong Kong pada tahun 2020 dan banyak pihak yang mengungkapkan pembangkangan diperlakukan sebagai penjahat.Kepada VOA, pengajar Jonathan Waseya mengatakan institut itu menerapkan ketidakadilan terhadap siswa-siswanya dengan membatasi pembelajaran dan paparan mereka atas ide-ide yang berbeda.

“Kesempatan datang melalui Institut Konfusius yang didanai China, tidak bermasalah apa-apa. Tapi bisakah setiap individu berbicara mengenai Taiwan, berpendapat tentang Hong Kong, berbicara tentang Korea, menilai Korea Utara dan Selatan dan bagaimana gambaran yang lebih besar sesuai dengan geopolitik saat ini?,” jelasnya.

Dengan begitu banyaknya calon siswa yang mendaftarkan diri di kelas-kelas pada Institut Konfusius, para pakar pendidikan mengatakan sangat penting agar siswa menemukan jalur lain untuk belajar topik-topik yang secara politik dinilai sensitif oleh Beijing.(VOA)








Bagikan:
Komentar Anda

Berita Terkini