|



Ekonomi Myanmar Alami Keruntuhan

Para pedagang menjual sayuran di pinggir jalan di Sagaing, Myanmar sementara ekonomi negara itu terus terpuruk pasca kudeta militer (foto: VOA)

Kapuasrayatoday.com - Ekonomi Myanmar sedang runtuh dan para ahli memperkirakan lebih banyak perdagangan ilegal dan pertumbuhan nol pada tahun 2022

Ekonomi negara di Asia Tenggara itu mengalami penurunan pesat setelah mengalami kekacauan terkait kudeta militer Februari lalu. Ribuan warga telah mogok, menolak untuk bekerja di bawah kekuasaan militer, termasuk petugas kesehatan, pengacara, guru dan insinyur.

Beberapa hari setelah kudeta terjadi sembilan bulan lalu, Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) terbentuk. Ini adalah kampanye pemogokan buruh skala besar dengan misi untuk melawan junta guna merusak ekonomi yang dikendalikan militer.

Tak lama setelah gerakan dimulai, para bankir Myanmar bergabung dan menolak untuk pergi bekerja. Langkah itu mendorong masalah arus kas bukan hanya bagi penduduk dan bisnis, tetapi juga militer.Seiring berjalannya tahun, setiap bisnis milik militer atau afiliasinya menghadapi boikot besar-besaran. Merek global telah menghentikan pesanan dari industri manufaktur Myanmar, sementara produk buatan China telah diboikot di tengah tuduhan China mendukung junta militer Myanmar. Beijing telah menghalangi pernyataan Dewan Keamanan PBB yang mengecam kudeta tersebut.

Khawatir akan keselamatan mereka, ribuan pekerja meninggalkan rumah mereka di pedesaan karena meningkatnya pertempuran antara tentara nasional dan kelompok oposisi. Pabrik dan bisnis juga tutup, menyebabkan meningkatnya pengangguran dan hilangnya pendapatan.

Gwen Robinson, seorang editor di Nikkei Asia, mensponsori sebuah acara yang diselenggarakan oleh Foreign Correspondent’s Club of Thailand (FCCT) di Bangkok pada bulan November, yang menguraikan beberapa kemerosotan ekonomi di Myanmar.

“Jelas kita melihat keruntuhan di Myanmar saat ini. Ekonomi gelap merebak dan ada persepsi yang berkembang tentang akan terjadinya keruntuhan ekonomi domestik yang resmi dan terbuka,” katanya.

Dengan terus berlanjutnya penindakan keras di Myanmar, perusahaan militer Myanmar menghadapi sanksi perdagangan yang berat dari AS, Inggris, dan Uni Eropa. Semua ini memberi tekanan pada kepemimpinan militer.(VOA)





Bagikan:
Komentar Anda

Berita Terkini