|



Banjir di Kalimantan, Pemerintah Didesak Tingkatkan Aksi di Perjanjan Iklim Paris

Warga menggunakan perahu untuk mengevakuasi keluarganya saat banjir melanda desa Sudan di Sampit, Kalimantan Tengah pada 23 Juli 2010. (Foto: VOA)

Kapuasrayatoday.com
- Pakar lingkungan, Senin (18/1), mengatakan musibah banjir yang menerjang di sejumlah wilayah di tanah air adalah pengingat nyata risiko perubahan iklim yang dihadapi negara ini. Untuk itu pemerintah didesak untuk lebih ambisius dalam upayanya untuk mengurangi emisi pemanasan Bumi.

Kalimantan Selatan mengumumkan keadaan darurat minggu lalu, setelah curah hujan tinggi dan banjir sejak awal tahun membuat puluhan ribu orang mengungsi.

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mengatakan banjir adalah "indikasi bahwa pemerintah harus lebih berambisi dalam kebijakan iklimnya.”

Reuters melaporkan Indonesia telah mengalami dampak kenaikan suhu global, dengan kota-kota dan wilayah pesisirnya dilanda banjir secara teratur dan naiknya permukaan laut.

“Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan terhadap krisis iklim,” kata Adila Isfandiari, peneliti iklim dan energi di Greenpeace Indonesia.

"Itu berakar pada posisi pemerintah yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada lingkungan," katanya kepada Thomson Reuters Foundation.

Di bawah Perjanjian Paris 2015 yang fokus untuk menurunkan tingkat pemanasan global, Indonesia, berkomitmen untuk mengurangi emisinya hingga 29 persen pada tahun 2030. Negara ini dikenal sebagai salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia.

Awal bulan ini, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman mengatakan kepada kantor berita Antara bahwa pemerintah tidak akan meningkatkan pengurangan emisi lebih lanjut dalam rencana aksi iklim yang diperbarui karena akan diajukan menjelang KTT iklim PBB pada bulan November.

Ruandha Agung Sugardiman mengatakan Indonesia akan fokus pada implementasi dan langkah-langkah untuk memenuhi komitmen yang ada.

Indonesia dikenal sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia dan sumber utama kayu, tapi kelompok pemerhati lingkungan menyalahkan aksi pembabatan hutan untuk perkebunan.

Menurut analisis koalisi riset Climate Action Tracker, kebijakan iklim Indonesia saat ini "sangat tidak memadai" dan emisi masih meningkat.

Indonesia adalah satu dari hanya lima negara yang memulai pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara pada tahun 2020, katanya.

“Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi total emisi untuk memenuhi tujuan iklim Paris, tetapi emisi di Indonesia sedang naik,” kata Sisilia Nurmala Dewi, ketua tim Indonesia di kelompok kampanye iklim 350.org.

Meskipun demikian, pemerintah telah bekerja dalam beberapa tahun terakhir untuk menghentikan pembalakan liar, melindungi hutan dan memenuhi janjinya untuk mengatasi perubahan iklim.

Selain memberlakukan moratorium penebangan hutan baru, dalam lima tahun terakhir ini, pemerintah telah mengalokasikan rata-rata hampir Rp90 triliun rupiah per tahun untuk mengatasi perubahan iklim, meskipun turun menjadi sekitar RP80 triliun rupiah pada tahun 2020 karena pandemi Covid-19.

Undang-undang Cipta Kerja dikritik oleh para pencinta lingkungan yang mengatakan akan memicu lebih banyak pembukaan hutan dan kebakaran.

WALHI mengimbau pemerintah untuk berhenti mengeluarkan izin baru untuk pertambangan batu bara, melarang pembangkit listrik tenaga batu bara, menghentikan eksplorasi minyak bumi, dan menyiapkan kebijakan transisi energi hijau untuk 10-15 tahun ke depan yang mengutamakan energi terbarukan.  (VOA)


Bagikan:
Komentar Anda

Berita Terkini