-->
    |

Sawit Bagimu Negeri, Sawit Bagimu Petani

 


Jakarta,Kapuasrayatoday.com - 

Peranan BPDPKS Mendorong Petani Kelapa Sawit Suplai Bahan Baku Biodiesel.Mengacu kepada Adam Smith, seorang ahli ekonomi, dalam Hukum Penawaran menjelaskan, adanya pengaruh pajak terhadap penawaran harga produk yang akan dibeli. Sebab, pada dasarnya, hukum penawaran terkait dengan harga produk, akan mirip dengan prospek produk. 

Bagaimana dengan posisi tawar petani kelapa sawit ? 

Simak Rangkuman Diskusi Para Pemangku kepentingan di lingkaran Petani Sawit.

Jika harga produk minyak sawit mentah (CPO) naik, maka jumlah produk yang ditawarkan juga meningkat. Namun, harga produk yang turun membuat jumlah barang yang tersedia juga akan turun, sehingga penawaran dan permintaan akan menemukan titik ekuilirium yang baru. Penerapan Pajak dan Pungutan terhadap CPO juga akan menimbulkan efek samping bagi petani kelapa sawit, dimana posisi tawar yang rendah menyebabkan terjadinya distorsi harga jual TBS.

Imformasi Pasar

Sebagai informasi, regulasi Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE) yang dibebankan pemerintah, dapat mengubah harga barang, sehingga kuantitas produk yang dikonsumsi akan menurun. 

Pengenaan pajak, akan menggerakan pasar ke ekuilibrium baru, dimana harga barang yang dibayar oleh pembeli meningkat dan harga yang diterima oleh penjual menurun.

Namun, pengenaan pajak tidak akan diberikan kepada pembeli atau penjual, karena pajak dibebankan sebagian besar kepada sisi pasar yang kurang elastis, karena memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk menanggapi pajak dengan mengubah jumlah yang dijual atau dibeli. Jelasnya, petani kelapa sawit menjadi sisi pasar yang kurang elastis, karena tidak memiliki kemampuan terhadap kondisi yang terjadi.

Sebagai informasi, pengenaan pajak dan pungutan tinggi akan produk CPO, secara langsung akan berdampak positif terhadap murahnya bahan baku bagi industri hilir, termasuk industri biodiesel. Namun, murahnya harga minyak sawit juga tidak akan berdampak positif terhadap daya saing produk biodiesel, karena persaingan produk biodiesel, masuk dalam golongan minyak bahan bakar dari minyak bumi, yang sedang mengalami penurunan harga.

Persoalannya, dana PE yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), terlalu besar disalurkan kepada industri biodiesel, yang sudah mengeruk keuntungan dari harga murahnya bahan baku dan mendapat dana subsidi biodiesel yang sangat besar. 

Sedangkan petani kelapa sawit, kurang dilibatkan dalam penyediaan bahan bakunya.

Salah satu solusi dari karut marut ini, dapat dilakukan melalui terobosan regulasi pemerintah yang baru, guna meningkatkan peluang besar dari petani kelapa sawit untuk terlibat langsung dalam pasokan bahan biodiesel baku. Keterbukaan (transparancy) dan keterlacakan (traceability) dapat menjadi bagian didalamnya. 

Caranya, produksi CPO hasil petani kelapa sawit langsung dilibatkan atau diwajibkan oleh pemerintah, untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel, dimana harga beli yang dikenakan, juga ditetapkan secara khusus antara petani sebagai produsen dan industri biodiesel, melalui perjanjian bisnis yang saling menguntungkan.

Jika pasokan TBS dari petani kurang memenuhi kebutuhan pasokan, maka perlakuan yang sama dapat diberikan kepada perkebunan kelapa sawit nasional, sehingga perkebunan kelapa sawit nasional, baik petani maupun perusahaan perkebunan kelapa sawit, secara nyata terlibat dalam pengadaan biodiesel dan menguntungkan petani serta pemerintah.

Melalui cara ini, maka keseimbangan hukum penawaran akan menemukan kembali titik keseimbangan terbaru, dimana pemerintah tidak akan merugi besar, karena hanya menyubsidi industri biodiesel.Tapi mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus meningkatkan pendapatan pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Etika Bisnis

Secara etika, Pemerintah juga mampu menjalankan aturan dan prosedur yang menjadi kewajibannya sesuai moralitas ( Rawls dan Hardin ; 1995), dimana sebagai institusi harus memiliki moralitas dan menjaga moral sebagai bagian dari konsekuensinya. 

Disinilah, peran BPDPKS akan menjadi bagian dari kebijakan yang melindungi masyarakat luas, khususnya petani kelapa sawit. 

Apa yang dikatakan Plt Kadiv Lembaga Kemasyarakatan Masyarakat Sipil BPDPKS, Sulthan Muhammad Yusa, sampai saat ini sektor perkebunan kelapa sawit terus berkembang kendati berada dalam masa pandemi covid19, bahkan dalam kajian yang dilakukan perguruan tinggi di Indonesia, Universitas Jambi dan Institut Pertanian Bogor menjelajahi perkebunan Universitas Wageningen, kelapa sawit bisa menjawab isu Sustainable Development Goals (SDGs). 

Karena itu pihak BPDPKS, akan terus berupaya mendorong perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Lantas, dengan dinamika pergerakan harga CPO dan minyak dunia saat direncanakan penyerapan biodiesel pada tahun 2021 mampu sebanyak 9,2 juta KL. “Diperkirakan kebutuhan dana insentif akan jauh lebih tinggi pada tahun 2021,” kata Yusa, dalam FGD Sawit Berkelanjutan Vol 8, bertajuk “Peranan 

BPDPKS Mendorong Petani Kelapa Sawit Suplai Bahan Baku Biodiesel,” Kamis (10/6/2021) yang diselenggarakan InfoSAWIT, di Jakarta.

Lebih lanjut kata Yusa, untuk menjaga program energi baru dan terbarukan (EBT) melalui 

Mandatori Biodiesel, Pemerintah juga telah menyesuaikan tarif Pungutan Ekspor melalui PMK 191/2020. 

Karena itu untuk kebutuhan Program Mandatori Biodiesel yang terus meningkat setiap tahun, perlu dibarengi dengan peningkatan produktivitas kebun sawit agar kebutuhan bahan baku biodiesel sawit dapat terpenuhi di masa mendatang.

Impormasi Peoduks.

BDPKS memproyeksi produksi CPO dan stok tahun 2021-2025 akan mencapai 52,30 Juta MT – 57,61 Juta MT, rata-rata naik sebesar 4% per tahun. 

Sementara kebutuhan Biodiesel untuk program B30 tahun 2021-2025 diperkirakan sebesar 8,34 Juta MT 9,66 Juta MT (8,85 Juta KL11.65 Juta KL) rata-rata naik sebesar 5% per tahun.

Dengan konsumsi domestik yang stagnan ( minyak goreng dan produk oleokimia), Indonesia memerlukan produk hilir yang mampu menyerap stok CPO yang tinggi di tahun-tahun mendatang, yang saat ini dapat ditingkatkan yaitu penggunaan kelapa sawit sebagai Energi Baru Terbarukan.

Kedepan, tutur Yusa, menentang akan mendorong Minyak Sawit untuk Energi Terbarukan: Program Selanjutnya, yakni melibatkan petani dalam rantai pasok biodiesel sawit. Selain pengembangan biodiesel dengan teknologi

Fatty Acid Methly Ester (FAME) juga sedang dikembangkan biodiesel berbasis hidrogenisasi atau kerap biohidrokarbon, yang bisa menghasilkan disebut green diesel, green gasoline, dan green fuel jet (Avtur).

Pengembangan ini akan melibatkan petani dan akan menggunakan teknologi yang bisa diimplementasikan dengan skala tidak besar dan menguntungkan petani kelapa sawit. “Kita perlu program yang bermanfaat bagi petani yang memang membutuhkan,” kata Yusa.

Saat ini pengembangan itu masuk dalam pogram Industrial Vegetable Oil (IVO), dimana pilot project yang dilakukan berada di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Program ini hasil kerja sama dengan Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia (MBI), PT Kemurgi Indonesia dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, Elis Heviati mencatat, penerapan program mandatori biodiesel dilatarbelakangi karena Indonesia memiliki potensi produksi minyak sawit mentah (CPO) yang cukup besar yang mana di tahun 2020 produksinya telah mencapai 52 juta ton.

Lantas, upaya dalam meningkatkan ketahanan energi nasional, selain itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena dari tutupan lahan sawit seluas 16,38 juta ha sebanyak 40% dimiliiki pekebun sawit (petani sawit).

Besarnya defisit neraca perdagangan akibat peningkatan impor Bahan Bakar Minyak (BBM), serta upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dan tercapainya stabilisasi harga CPO kata Elis Heviati.

Lebih lanjut kata Elis Heviati, dalam grand strategi rencana energi nasional, di tahun 2030, pemerintah akan tetap mempertahankan kebijakan B30 dan memaksimalkan produksi Bahan Bakar Nabati (BBN) dari biodiesel atau biohidrokarbon.

Kedepan kata Elis, pemanfaatan biofuel tiak batas untuk biodiesel saja, dan tidak terbatas pada pengusahaan skala besar, sesuaikan spesifikasi yang berbasis kerakyatan, untuk menyesuaikan dengan 

kebutuhan konsumen. Termasuk pemanfaatan produk biodiesel, serta pemanfaatan hasil sawit non CPO.

Model kesertaan petani dalam program mandatori biodiesel dapat berupa pengembangan Pabrik Minyak 

Nabati Industrial (IVO) dan Bensin Sawit dengan bahan baku dari TBS Sawit raykat. Dimana Biaya produksi lebih murah 15-20% dari PKS Konvensional, harga tandan buah segar lebih stabil (Tidak bermasalah dengan asam lemak bebas yang tinggi).

Lantas, kandungan metal dan klorin rendah, Oil Extraction rate meningkat dari 18-22% menjadi 24-36%. “Serta dapat dikelola oleh Koperasi/BUMD dan SNI IVO terbit,” kata Elis Heviati.

Rantai Pasok.

Sementara Ricky Amukti dari Traction Energy Asia mengatakan, menempatkan pekebun mandiri kelapa sawit dalam rantai pasok biodiesel sangat dimungkinkan, terlebih dahulu Pekebun sawit mandiri menguasai 40% dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. “Namun mereka sama sekali tidak mendapat manfaat dari program biodiesel secara langsung selama ini,” kata Ricky.

Lebih lanjut kata dia, dengan memasukkan pekebun sawit mandiri dalam rantai pasok produksi biodiesel akan membantu meningkatkan kesejahteraan dan pemberantasan kemiskinan. Termasuk, mengurangi resiko deforestasi dan menjaga hutan alam yang tersisa dan menggunakan TBS kelapa sawit yang dihasilkan dari lahan pekebun sawit mandiri dapat mengurangi emisi dari keseluruhan daur produksi biodiesel.

Sampai saat ini kondisi rantai pasok TBS dari Petani ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) bervariasi. panjangnya rantai pasok TBS mengurangi keuntungan petani swadaya. “Dengan biodiesel mandatori ini bisa menjadi momentum dalam upaya perbaikan rantai pasok dari petani,” kata Ricky.

Biasanya keengganan PKS menempatkan pekebun mandiri sebagai pemasok bahan baku (PKS) terkait pusat, dimana rata - rata, skala usaha pekebun mandiri masih terbatas (rata-rata luas lahan di bawah 3 ha dan modal kerja/usaha terbatas), pengelolaan/manajemen usaha tradisional, tingkat produktivitas rendah (volume panen TBS per 1 ha kurang dari 3 ton), mutu TBS rendah (tingkat rendemen di bawah 20%), dan Kinerja usaha kurang efisien ( biaya produksi lebih tinggi terhadap operasional pendapatan).

Maka muncullah mandiri hambatan eksternal yang dihadapi pekebun, yakni akses pasar terbatas dan Harga 

jual TBS tidak sebanding dengan biaya pokok produksi. “Satu-satunya solusi untuk menjamin bisnis pekebun mandiri adalah dengan memberi jaminan pasar,” kata Ricky.

Karena itu, pengadaan TBS dari Pekebun Mandiri yang dilakukan PKS sebaiknya dilakukan dengan menempatkan 

Pekebun Mandiri sebagai pelaku rantai pasok CPO melalui Kerjasama Kemitraan berbasis karakteristik usaha, dimana kemitraan antara pekebun mandiri dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit/pabrik kelapa sawit adalah solusi untuk peningkatan kinerja dan skala usaha pekebun mandiri.setidaknya tutur Ricky, terdapat lima tujuan penyelenggaraan program kemitraan berbasis karakteristik usaha, yakni ; 

1. Memberikan jaminan pasar bagi TBS petani swadaya.

2. Memberikan akses bagi petani swadaya untuk memperoleh bibit dan pupuk berkualitas.

3. Memberikan bimbingan teknis peningkatan produksi TBS.

4.Memberikan bimbingan teknis peningkatan mutu TBS petani swadaya sesuai standar industri kelapa sawit dan 5.Memberikan bimbingan teknis pola usaha tani/berkebun yang baik dan berkelanjutan urai Ricky.

Dampak Pungutan.

Diungkpakan Sekretaris Jenderal Serikat Petani kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, dalam program madatori biodiesel sawit, terdapat 18 industri yang memperoleh jatah untuk penyedia biodiesel yang ditetapkan oleh ESDM, untuk menjalankan program B30. Namun, tidak ada prasyarat kemitraan dengan petani. 

Untuk itu kata Darto, guna mendukung program tersebut, dilakukan dengan menerapkan pungutan ekspor CPO berdasarkan peraturan mentri keuangan (191 tahun 2020). Lantas, pungutan ini kemudian berdampak pada tergerusnya harga Sawit di tingkat pekebun serta mempengaruhi bisnis sawit Indonesia khususnya perusahaan kecil dan menengah/BUMN. 

Berdasarkan hitungan kami pungutan ekspor itu bisa menggerus harga TBS Sawit petani sekitar Rp 600/kg,” tutur Darto.

Merujuk riset yang dilakukan oleh SPKS, menonton perusahaan besar (yang mengontrol dan .) 

juga hilir) dalam contoh kasus Wilmar memperoleh bahan baku dari 32 kelompok perusahaan atau sebanyak 

32 perusahaan, 4 di antara – nya perusahaan asing (3 Malaysia dan 1 srilangka). 

“Ini yang membuat kami petani sangat menarik, mengapa program ini justru melibatkan pihak asing, dengan petani sawit yang memang ada di Indonesia dan menerapkan regulasi yang ditetapkan 

pemerintah, mengapa kami tidak dilibatkan langsung,” kata Darto mempertanyakan.

Lebih lanjut tutur Darto, mencoba melakukan tracking di lapangan, faktanya petani sawit swadaya tidak 

terhubung sama sekali dengan program mamdatori biodiesel, dalam radius 5 Km saja disekitar wilayah 

produsen biodiesel petani swadaya tidak diperhatikan atau tidak diajak pungkas Darto.

Sumber   : Press Rilis Seknas SPKS

Editor.     :. Sudarno


Bagikan:
Komentar Anda

Berita Terkini