|



Anak-Anak Jadi Korban Lain Konflik di Ukraina


Anak-anak di Kyiv, Ukraina bermain-main di atas sistem artileri roket buatan Rusia yang dirampas oleh pasukan Ukraina dalam pertempuran melawan pemberontak dukungan Rusia di Ukraina timur (foto:VOA)


Kapuasrayatoday.com - Dari rumahnya di Kyiv, Anna Gvozd memantau dengan seksama situasi di wilayah Luhansk – yang pada Senin lalu (21/2) diakui Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai “negara merdeka.” Keluarga Anna tinggal di wilayah yang kini dibayangi perang itu.

Ia menceritakan, “Keponakan saya yang berusia enam tahun sekarang tidak lagi pergi ke sekolah dan ke kelas menari karena penembakan terjadi di sekitar kota itu.”

Anna, suaminya dan tiga putra mereka telah meninggalkan wilayah itu delapan tahun lalu setelah Rusia menganeksasi Krimea dan memicu perang separatis di bagian timur Ukraina. Dampaknya terhadap anak-anak sangat buruk.

“Kami tidak dapat menyewa apartemen karena orang yang mengungsi di dalam negerinya sendiri – atau dikenal sebagai 'internally displaced persons' – kami tidak diberi tempat tinggal. Mereka juga melarang memiliki rumah karena melihat kami punya tiga anak. Anak-anak melihat langsung perjuangan emosional kami,” tutur Anna.Bagi keluarga yang tidak dapat melarikan diri, trauma yang ada semakin memburuk karena semakin banyak pasukan Rusia yang masuk ke wilayah itu secara resmi.

Setelah peluru altileri menghantam taman kanak-kanak di wilayah timur negara itu pada 17 Februari lalu, UNICEF mengingkat “konflik itu telah menimbulkan dampak sangat buruk pada kesejahteraan seluruh generasi anak-anak secara psiko-sosial.”

Serhii Lukashov, Direktur Nasional SOS Children Villages yang juga aktivis anak-anak setempat mengatakan trauma itu terbukti dalam banyak hal.

“Hal ini menjadi bagian dari kepribadian mereka, yang menjadi pasif-agresif. Anak-anak yang lebih kecil mengalami kesulitan berkomunikasi,” katanya.Direktur Proyek di War Childhood Museum di Ukraina, Iuliia Skubytska mengatakan, “Ini bukan hanya efek psikologis. Ini tentang penyakit kronis yang berkembang karena stress, karena kurangnya akses ke layanan kebutuhan dasar, dan karena hilangnya rasa aman.”

Sebagai penasihat PBB untuk orang-orang terlantar, Prof. Elizabeth Ferris mengatakan ia khawatir akan terjadinya invasi Rusia dalam skala penuh.

“UNICEF memperkirakan saat ini sekitar 400.000 anak membutuhkan bantuan kemanusiaan sebelum lebih banyak konflik meletus. Kebutuhan yang paling mendesak adalah menyediakan tempat berlindung bagi mereka yang terlantar, apalagi ini adalah pertengahan musim dingin. Juga mungkin menyediakan perawatan medis, air, makanan dan tempat tinggal.”

Anna Govdz tahu persis perjuangan yang akan dihadapi keponakannya jika dipaksa meninggalkan rumahnya di Donbas.

“Ini akah menjadi luka seumur hidup karena kita tinggal di rumah dan lingkungan di mana kita dibesarkan, bersama teman dan keluarga; dan kemudian kehidupan kita berubah drastis,” tukasnya.

Ukraina pada Juni 2020 lalu memberitahu PBB bahwa 147 anak-anak tewas dalam agresi bersenjata Rusia ke Donbas, sebagian besar karena luka tembak ranjau darat, atau menyentuh bahan peledak. Demi nasib keponakannya dan anak-anak lain di Ukraina, satu-satunya harapan Anna kini adalah agar perang segera berakhir.(VOA)

Bagikan:
Komentar Anda

Berita Terkini