Pontianak,Kapuasrayatoday.com -
Memperingati Hari Tani Nasional 2025, Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) yang beranggotakan tujuh organisasi petani sawit, menegaskan kembali tuntutan utama petani sawit: reforma agraria sejati yang benar-benar berpihak pada petani, bukan sekadar slogan.
Ketua Umum POPSI, Mansuetus Darto dalam siaran Pers yang diterima redaksi Kapuasrayatoday.com Rabu (24/9) 2025 mengatakan hingga hari ini kehidupan petani sawit masih dibelenggu oleh kebijakan negara yang menekan, pengelolaan aset yang tidak adil,dan tidak pernah terwujud seperti ;
1. Pungutan Ekspor dan Bea Keluar Membunuh Kesejahteraan Petani
POPSI menilai bahwa pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) yang mencapai 190 USD/MT saat ini, merupakan beban berat yang secara langsung memiskinkan petani sawit.
Berdasarkan hitungan, setiap potongan 50 USD/MT dapat menggerus harga TBS sampai sebesar Rp 350/kg. Artinya, dengan potongan 190 USD/MT, petani kehilangan sekitar Rp 1.500/kg TBS.• Harga TBS yang saat ini hanya sekitar Rp 3.500/kg, seharusnya bisa mencapai Rp 5.000/kg jika tidak ada pungutan tersebut.
• Kondisi ini adalah strategi struktural yang bisa memiskinkan petani dan harus segera dihentikan.
2. Nasionalisasi Melalui Agrinas: Reforma Agraria yang Dipelintir
POPSI juga menyoroti langkah pemerintah melalui Agrinas (PT Agro Industri Nasional) yang mengambil alih dan mengelola kebun sawit, termasuk sawit sitaan yang berada dalam kawasan hutan.
• Tidak ada proses negosiasi dengan petani yang selama ini menggantungkan hidup dari tanah tersebut. Tidak ada studi yang mendalam, mengapa masyarakat menduduki tanah kawasan hutan tersebut.
• Reforma agraria sejati seharusnya mengembalikan tanah kepada petani dan masyarakat adat, bukan mengganti tuan lama dengan tuan baru AGRINAS dengan embel-embel kepentingan Negara.
• Mengelola sawit sitaan tanpa melibatkan petani kecil tanpa redistribusi tanah sama saja dengan nasionalisasi korporatis, bukan reforma agraria.
3. ISPO: Janji yang Tidak Pernah Ditepati
Hingga kini, mayoritas petani sawit rakyat belum memiliki sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Pemerintah sering menyatakan akan mempercepat sertifikasi ISPO untuk petani, namun realitasnya tidak ada alokasi dana maupun program yang nyata.
• Petani justru dibebani kewajiban ISPO tanpa dukungan, sementara biaya sertifikasi sangat mahal.
• POPSI menegaskan, tanpa dukungan finansial dan kelembagaan yang nyata, ISPO hanya menjadi alat diskriminasi terhadap petani sawit rakyat.
Tuntutan POPSI
Dalam momentum Hari Tani Nasional, POPSI mendesak pemerintah untuk:
1. Menghapus pungutan ekspor dan bea keluar yang mencekik petani.
2. Menghentikan praktik nasionalisasi sawit melalui Agrinas dan mengembalikan tanah kepada petani.
3. Menyediakan anggaran khusus untuk percepatan ISPO bagi petani sawit rakyat.
4. Menjalankan reforma agraria sejati: tanah untuk petani, bukan untuk korporasi atau BUMN.
“Hari Tani Nasional bukan sekadar perayaan, tetapi pengingat atas janji negara untuk mewujudkan reforma agraria sejati. Petani sawit tidak butuh retorika, kami butuh keadilan,” tegas Mansuetus Darto, Ketua Umum POPSI.
Dalam acara pembukaan IPOC 2025
Sebagai panitia pelaksana Darto mengatakan IPOSC merupakan wadah perjuangan maupun ruang komunikasi bagi organisasi petani sawit. Selain itu IPOSC juga menjadi lembaga perjuangan bagi petani sambungnya.
Selain sebagai ruang diskusi bagi organisasi petani sawit, isu keberlanjutan juga menjadi perhatian IPOSC pungkas Darto.(dar/*)
