|



Cerita Ilmuwan Indonesia Sulitnya Membuat Vaksin Covid-19

Ketua Laboratorium Mikrobiologi FKUI Prof. Pratiwi Sudarmono. (foto: Suara.com) 
Jakarta, Kapuasrayatoday.com - Pandemi Covid-19 sudah berlangsung hampir setengah tahun, tapi belum ada satupun vaksin yang disetujui untuk melindungi masyarakat dunia dari penyakit menular Covid-19.

Begitupun dengan di Indonesia. Ilmuwan sekaligus Ketua Laboratorium Mikrobiologi FKUI Prof. Pratiwi Sudarmono bercerita bagaimana sulitnya membuat vaksin untuk satu penyakit, yang bisa makan waktu bertahun-tahun.

"Vaksinasi itu sudah dimulai di abad 19, kalau dilihat vaksinasi itu cowpox (cacar sapi) itu 100 tahun sesudah itu, baru herd immunity tercapai dan bebas, dan itupun pakai vaksin," ujar Prof. Pratiwi di Graha BNPB, Jakarta Timur, Selasa (2/6/2020).

Ia mengungkap proses pembuatan vaksin punya perjalanan yang panjang dengan berbagai tahapan.
 Rancangan DNA harus dibuat para ilmuwan dengan matang untuk nanti menampung virus, sehingga terbuatlah antivirus. Vaksin ini bisa berbasis virus, jamur, dan sebagainya yang dimodifikasi.

"Sekarang ada 100 yang melakukan penelitian untuk SARS CoV 2, dan kira-kira 11 dan 12 yang sudah melakukan clinical trial fase 1 dan fase 2. Fase 1 dan fase 2 dijadikan satu. Ini baru untuk aspek safety dan untuk mencari dosis, untuk melihat apakah kalau dimasukkan ke dalam binatang itu, ada nggak antibodinya," terangnya.

Setelah diujicoba pada hewan, lalu dilihat terbentuk tidaknya antibodi. Saat terbentuk, maka bisa masuk ke tahap selanjutnya, tapi jika tidak terbentuk, bahkan efeknya buruk, maka penelitian harus diulang ke tahap sebelumnya.

"Jadi, saya sebagai ahli mikrobiologi, saya harus mengatakan ini tidak akan terbentuk dalam waktu dekat, paling cepat 1 tahun. Saya rasa memerlukan waktu cukup lama 1 tahun atau 2 tahun," ungkapnya.

Prof. Pratiwi sendiri bercerita hingga kini ia masih mengembangkan vaksin terhadap penyakit demam berdarah di Indonesia. Menurutnya, sejak awal pembuatan vaksin ini, ia sudah menghabiskan setengah dari perjalanan hidupnya yang kini berusia 67 tahun.

"Saya contohnya, melakukan penelitian vaksin demam berdarah di Indonesia. Saya rasa saya sudah menghabiskan hampir separuh hidup saya untuk mendedikasikan ke sini dan masih sangat sulit," tuturnya.

"Apalagi ini (virus corona), virus RNA itu melakukan perubahan yang sangat cepat. Jadi ini yang menjadi juga pertimbangan dalam membuat vaksin yang efektif," pungkasnya.

Sumber: Suara.com

Bagikan:
Komentar Anda

Berita Terkini